Tantangan Menulis #KampusFiksi #Perdamaian
Miss Panic
Otakku penuh. Mungkin saat isi otakku
digeledah dan diselidiki satu per satu, semua orang akan terkejut dengan
keriuhannya. Tiap detik aku berpikir, berkhayal, membatin, dan sebagainya. Ada
saja isinya, bahkan aku sendiri tidak mengetahuinya dengan gamblang. Pemilik
otak macam apa aku??
“Em, Avi belum nge-print makalah kita, lho. Padahal sepuluh
menit lagi kita mesti masuk kelas!” kata temanku dengan panik dan rasa bersalah
begitu aku menyapanya di pintu masuk kampus.
“HAH?? BELUM NGE-PRINT MAKALAH??! Kok bisa itu, lho?!”
Serangan panik melandaku. Seketika
perutku mulas berat yang memungkinkan detik itu juga aku berlari ke toilet,
sayangnya di saat se-hectic ini
mustahil itu kulakukan. Bisa-bisa teman-temanku mencincangku, toh yang panik
bukan cuma aku.
Singkat cerita, kami terlambat masuk
kelas plus tidak mengumpulkan makalah. Dengan sangat terpaksa, kami merelakan
nilai makalah diminus sepuluh poin. Padahal nilai asli makalah sudah 65, hasil
akhirnya jadi 55. Menyebalkan.
***
Aku adalah orang yang tingkat
kecemasannya mencapai 100%. Benar-benar sempurna!! Ini adalah bunuh diri dengan
cara tercepat. Segala hal dapat mengusikku, sayangnya semua itu tidak mudah
dilihat banyak orang. Dari luar wajahku flat,
jadi orang selalu berspekulasi bahwa aku orang yang tenang.
“Emma, deadline proposalnya dua hari lagi, ya! Kalau bisa sudah diantar
juga ke fakultas.” Seniorku berujar dengan ramah dan tersenyum lebar. Perutku
lagi-lagi mulas mendengar perkataannya.
“Iya Kak, hehehehe.” Aku menjawab
seadanya sambil meringis karena bingung harus memberi reaksi apa.
“Okay,
semangat ya, Emma!” balasnya dengan senyum lebih cerah lagi, namun belum
menghilangkan rasa gugup dan mulasku.
“Makasih, Kak.”
Kalau boleh jujur, aku kurang suka
dengan kata-kata “semangat, ya!” karena sejujurnya itu seperti basa-basi
semata. Toh kata-kata semacam itu tidak akan menyelesaikan masalah. Tidak
perlulah memberiku semangat, karena yang aku butuhkan adalah bantuan yang realistis.
Bukannya kata-kata mutiara yang jumlahnya segudang di otakku. Tapi mau
bagaimana lagi, orang-orang sudah terbiasa mengatakan itu. Mau tak mau aku
hanya menganggapnya angin lalu.
Lain hari, lain pula ceritanya. Ada saja
yang dapat membuatku panik, cemas, dan khawatir. Aku hanya berharap hari-hariku
dapat menjadi damai, tenang, dan menyenangkan. Tapi ketika aku introspeksi
diri, semua ini pendorongnya adalah diriku sendiri. Andai aku bukan orang yang
gopohan, andai aku lebih tenang dan berkepala dingin. Seharusnya aku punya
sumber kedamaian dalam diriku sendiri.
Karena, seriuh-riuhnya dunia luar,
serusuh apapun sekitar kita, semuanya akan penuh kedamaian apabila hati kita
merasa damai. Dan saat ini aku sedang mencari kedamaian dalam diriku
sendiri....
Komentar
Posting Komentar