Tantangan Menulis #KampusFiksi #Dusta



Nothing’s Real

“Hai Graciella Tjandra, kamu sudah berubah! Sekarang kamu sangat cantik dan karirmu pun cemerlang!”
Seorang wanita muda berjalan ke arahku dengan senyum lebar, begitu tiba di hadapanku dia langsung bercipika-cipiki denganku. Penampilannya sangat elegan, sama sekali tidak berubah sejak SMA. Dengan tas tangan, dress, dan wedges berwarna senada yaitu krem, dia terlihat sangat modis. Semenjak SMA dia juga suka berpenampilan selayaknya wanita dewasa namun tetap natural, tidak seperti beberapa teman kami yang malah tampak menor.
“Kamu juga makin cantik dan mengagumkan, Sandra! Aku iri dengan kamu yang selalu modis,” pujiku tulus, karena memang sejujurnya aku merasa iri dengan kepiawaiannya dalam berdandan dan menampilkan kecantikan fisiknya.
Sandra tertawa renyah dengan tangan menutupi mulutnya, gayanya sedari SMA. “Ah, bisa aja kamu. Menurutku kamu malah lebih cantik dan segalanya!”
Siang itu pun kami habiskan dengan saling memuji dan reuni kecil-kecilan karena hanya kami berdua yang bertemu. Kami berbelanja baju, sepatu, tas, kemudian makan siang di food court, dan terakhir kami menghabiskan waktu dengan spa di salon. Semua orang pasti menganggap kami sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Sahabat yang saling merindukan. Sahabat yang sangat sejati. Dan sebagainya yang terbersit di otak.
Tapi semua itu salah. Kami bukan sahabat. Sandra dan aku hanyalah dua siswi yang saling mengenal selama SMA. Kami berdua jarang bicara. Perempuan itu datang ke mejaku dan mengobrol denganku hanya saat dia membutuhkan sesuatu. Jumlah kalimat kami ketika mengobrol pun dapat dihitung dengan jari saking sedikitnya.
Menurutku, semua yang tersaji di hadapan kita ini hanyalah dusta. Tidak ada yang benar. Tidak ada yang alami. Omong kosong. Sejujurnya, ketika seseorang mengulas senyum lebar padaku, aku malah makin waswas. Tingkah mereka yang ramah dan bersahabat membuatku curiga sekaligus muak, apalagi kalau mereka belum pernah bersikap tulus padaku. Sebut saja aku sinis, skeptis pada dunia, sarkastis pada semua hal. Toh tidak ada salahnya untuk berjaga-jaga agar tidak jatuh ke perangkap.
“Siapa sih kamu? Kita lho semasa SMA nggak pernah berteman. Bahkan untuk menyapaku kamu nggak sudi. Saat kita berpapasan di kampus setelah satu tahun lulus SMA, kamu juga berlagak nggak kenal denganku. Tapi kenapa sekarang kamu menyapa dan memelukku? Dan lebih parahnya, kamu bersikap seolah kita teman akrab yang terpisah sangat lama!!!” pekikku dalam kepala, namun tidak tersampaikan lewat mulut. Andai aku dapat memuntahkan semua kalimat itu ke depan muka Sandra. Andai.
Perempuan sok manis itu sudah pulang. Aku sangat lega dapat menikmati matcha latte-ku dengan santai dan damai di kafe dalam mal. Paling tidak aku tidak perlu berlama-lama menggertakkan gigi sewaktu berkomunikasi dengan mantan temanku itu. Mungkin kalau aku punya buku daftar karma, aku akan menuliskan nama lengkap wanita itu di nomor pertama. Kedua, mantanku. Ketiga... ah sudahlah, aku memang suka melantur.
Seraya menyesap minuman favoritku, mataku berkelana ke sekeliling dan menemukan pemandangan menarik. Salah, bukan menarik, tetapi memuakkan. Tiga orang remaja dengan formasi cewek-cowok-cewek. Dapat ditebak, cewek sebelah kanan adalah pacar si cowok. Sebab cewek itu terus saja menggelayut manja pada cowoknya. Sementara cewek yang paling kiri terlihat diam saja, dan yang mengejutkan adalah tangan si cowok malah mendekap pinggang teman pacarnya yang berada di paling kiri tersebut.
“Holy Cow!” umpatku kesal dan penuh kebencian.
Andai saja aku bisa menerjang ke arah mereka dan memberitahu cewek yang di sebelah kanan, “Cowokmu berselingkuh darimu!! Putuskan dia, dia nggak pantas buatmu!!!”
Yah, sayangnya hidup ini tidak se-drama itu. Atau aku saja yang terlalu melodramatis. Akhirnya karena tidak tahan melihat semua pemandangan ini, aku lekas menyedot habis matcha latte yang sekarang terasa hambar. Kemudian mengambil langkah seribu menuju tempat parkir agar aku dapat pulang ke rumah. Tempat dimana aku bisa bersembunyi. Tempat dimana hanya ada kejujuran di dalamnya. Tempat asli yang tidak akan berkhianat padaku. Yeah, tempat dimana aku dapat menjadi diriku sendiri tanpa perlu merasa takut diintimidasi oleh orang lain....

***

Waktu itu Graciella berumur sepuluh tahun. Di umur sekecil itu ia sudah ditinggal kedua orangtuanya karena kecelakaan. Tetangga rumahnya membawa Grace―panggilan akrab Graciella―menuju rumah tante Grace yang tidak jauh dari rumahnya berhubung hanya dia satu-satunya sanak saudara orangtua gadis itu. Sepanjang perjalanan Grace hanya menangis dan menangis, sampai-sampai stok airmatanya sudah hampir habis. Namun, begitu tiba di rumah tantenya, kepalanya dielus lembut sebuah tangan yang halus.
“Sudah ya, Grace. Jangan menangis lagi. Di sini ada Tante yang akan selalu jagain kamu,” ucap wanita berambut merah menyala itu dengan raut wajah lembut yang keibuan. “Tante juga sedih dengar berita tentang mama-papa kamu. Semoga mereka masuk surga, ya.”
Mata Grace bercahaya, ia berhenti menangis dan tersenyum lega. Harapannya bangkit seketika dan ia merasa hidupnya akan baik-baik saja. Sampai tetangganya masuk kembali ke mobil dan meninggalkan mereka dengan kesunyian yang mencekam.
“Masuk sana, Grace! Asal kamu tahu, saya paling nggak suka dengan yang namanya anak kecil. Tapi karena terpaksa makanya saya menampung kamu. Huh, merepotkan!” ujar wanita itu seraya menyerut kukunya dengan penyerut kuku yang terlihat tajam. Raut wajahnya berbanding terbalik dengan tadi saat ada si tetangga.
Grace terbelalak dan memandang adik papanya dengan raut memohon, “Tapi Tante, tadi katanya...”
“Grace sayang, asal kamu tahu ya. Di dunia ini nggak ada orang yang baik dengan tulus, semua orang berbuat baik karena ada maksud tersembunyi. Kamu harus ingat, semua orang itu jahat, kejam! Kalau nggak kejam, kamu akan kalah dari mereka semua. Jadi, lain kali jangan percaya dengan orang yang selalu tersenyum ke kamu, soalnya semua itu adalah kepalsuan. Jangan pernah percaya pada semua orang, termasuk Tante.”
Langkah yang diambil wanita itu ketika masuk rumah sangat ringan, berkebalikan dengan deru napas Grace yang mulai berat. Grace kecil tidak terlalu mengerti apa yang dikatakan tantenya, tapi sampai dewasa ia selalu mengingatnya. Bahwa dunia ini penuh tipu daya. Orang yang tersenyum bukan berarti dia baik. Orang yang bicara manis tidak berarti dia tulus. Dan orang terdekat tidak selalu berniat tulus pada kita...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel Remedy karya Biondy Alfian

My First Solo Traveling Express to Batu, Malang (Ketika si Terisolasi Keluar dari Cangkangnya)

KETIKA KAMU MERASA TIDAK RUPAWAN