Monochrome
Gadis tersebut menumpukan dagunya
pada kedua tangannya, ia tengah mengamati seseorang dengan hikmat. Tanpa sadar
seulas senyum terbit di wajahnya dan kedua manik matanya tampak sangat
berbinar. Jika seseorang mengikuti arah pandang perempuan berambut kucir kuda
tersebut, pastilah mengerti siapa gerangan yang dipandangi gadis tersebut.
Austin, cowok yang di lehernya selalu menggantung kamera digital berwarna
metalik. Cowok yang selalu tersenyum sesaat sebelum menjepret suatu momen agar
terekam di kameranya. Cowok yang dikaguminya semenjak mereka masuk SMA bersama.
Austin mendekat dan langsung memotret
wajah si gadis, Beverly. Beverly yang tersadar bahwa Austin menjepretnya secara
candid langsung mengomel dan wajahnya
tersipu. “Austin, jangan mengambil fotoku secara candid!!”
Mengamati hasil foto yang diambilnya,
Austin tersenyum. “Foto candid adalah
foto dengan ekspresi terjujur yang pernah ada.”
Beverly memutar kedua bola matanya,
ia sudah terbiasa dengan kata-kata mutiara yang selalu disemburkan Austin. “Ya,
ya. Terserah.”
Pulang sekolah Beverly langsung melepas
sepatu dan menuju kamar tanpa berganti baju dahulu. Ia lekas mengutak-atik
iPhone-nya seakan apabila ia tidak melakukannya sekarang juga maka nyawanya
akan melayang. Aplikasi pertama yang dicarinya adalah instagram, dan lekas saja
Beverly mencari akun Monochrome_Austin.
Cewek ini tidak pernah absen memberi tanda like
pada semua foto Austin sekaligus mem-follow
akun ini. Dan dapat ditebak ketika Austin followback,
Beverly langsung menjerit histeris serta lari berkeliling rumah sehingga ibunya
hanya dapat menggeleng pelan.
Sembari mengamati layar ponsel,
pikiran Beverly melayang dan bertanya-tanya. Kenapa semua foto yang dipajang
Austin selalu berwarna hitam-putih? Nama akunnya pun terdapat kata “monochrome”, apa artinya bagi Austin?
Yah, meskipun begitu, menurut Beverly semua foto jepretan Austin sangat bagus
dan indah. Mungkin tidak semua yang hitam-putih selalu membosankan. Terkadang
suatu hal yang monochrome dapat
menyiratkan jutaan makna...
“Hei, Austin!” sapa Beverly keesokan
paginya begitu tiba di kelas. Austin yang tengah membersihkan lensa kameranya
mendongak. “Aku pengin bertanya sesuatu,” sambungnya seraya meletakkan tas di
atas meja.
“Tanya apa?” balas cowok itu kembali
berkonsentrasi pada kamera kesayangannya.
“Kenapa sih semua foto yang kamu upload di Instagram warnanya
hitam-putih? Kok nggak warna-warni??”
Kali ini Austin menghentikan
aktivitasnya, ia menatap Beverly dengan serius dan tanpa sadar Beverly menahan
napasnya. “Karena foto tetaplah indah tanpa warna, aneka warna yang hilang
tidak akan mengurangi esensi keindahan itu sendiri.”
Sejenak gadis yang hari ini memakai
bando putih tersebut tercengang, kemudian ia langsung sadar kembali. “Wah, aku
setuju! Kuakui, alasanmu terlalu puitis, tapi mau tak mau aku setuju. Sekarang
rasa penasaranku sudah terpuaskan.”
Beverly mengulum senyum tulus dan
takjub, rasa kagumnya pada Austin makin bertambah. Sekarang sosok pria di
hadapannya menjelma menjadi seorang pangeran dari dunia impian, sosok yang
selalu diimpikannya. Austin yang eksentrik. Austin yang menarik. Austin yang
berjiwa seni. Austin yang segalanya! Tidak ada yang dapat mengukur kedalaman
laut perasaan Beverly pada Austin, bahkan gadis itu sendiri...
Seiris senyum muncul di wajahnya
ketika cowok hobi fotografi tersebut mempersiapkan kameranya. Ia teringat pertanyaan
semua orang, “kenapa semua foto yang kamu pajang warnanya hitam-putih?” dan
dengan tenang Austin selalu menjawab, “karena aneka warna yang hilang nggak
akan mengurangi esensi keindahan foto itu sendiri.”
Alasan sebenarnya bukan itu, meski
Austin tidak sepenuhnya berbohong. Semua gambar tersebut bernuansa monochrome karena Austin ingin semua
orang merasakan keindahan seperti dirinya merasakan keindahan. Cowok bertubuh
atletis itu mengalami buta warna, monokromatis tepatnya. Ia hanya dapat melihat
sekitarnya dengan dua warna dasar, yaitu hitam dan putih dengan tingkat gradasi
berbeda tentunya. Semakin cerah sebuah warna, maka warna tersebut menyerupai
putih dan sebaliknya.
Semenjak divonis demikian, kedua
orangtua Austin selalu menatap iba pada putranya. Namun Austin tidak pernah
suka diperlakukan demikian. Ya Tuhan, dia hanya tidak bisa melihat warna! Dan
itu tidak membuat nyawanya terancam. Jadi Austin berusaha menunjukkan pada
semua orang bahwa dia baik-baik saja dan bisa hidup bahagia meski memiliki
kekurangan.
“Biarlah sekitarku bernuansa monochrome, yang penting imajinasi dan
keindahan di otakku nggak monoton.” Itulah pegangan hidup Austin selama ini.
Dengan penuh hikmat cowok penyuka
warna putih itu mengarahkan lensa ke arah langit dan mengambil gambarnya. Tidak
selamanya warna hitam dan putih itu membosankan....
#NulisBarengAlumni #KampusFiksi #Kamera
Komentar
Posting Komentar