Pesan yang "Non-lisan"
Untuk memenuhi tantangan menulis di hari ke-9 dari
#KampusFiksi ini, diharuskan menulis surat untuk seseorang. Saya jadi terpikir
sesuatu. Awalnya kepala saya kosong, saya tidak berpikir untuk mengirim surat
pada siapa pun. Tapi setelah merenung sejenak, saya tahu saya akan menulis
surat untuk siapa. Pertama-tama, baca surat ini dengan perasaan netral ya,
jangan berpandangan macam-macam, cukup dipandang dengan objektif...
Dear “someone”,
Sekarang kamu sedang apa? Sudah sangat lama kita
tidak bertemu, dan sudah sangat lama kita tidak mengobrol. Karena setiap kali
kita berpapasan, kita saling membuang muka. Setelah sekian lama aku memendam
perasaan ini, akhirnya aku memberanikan diri untuk mengajakmu bertemu dan
menyatakan perasaanku. Tapi hari itu kamu sibuk, sehingga kamu menolak untuk
bertemu denganku mentah-mentah. Aku sangat sedih dan sedikit patah hati. Namun beberapa
hari kemudian aku sudah tidak tahan lagi memendam rasa suka ini terlalu lama,
akhirnya aku mengungkapkan perasaanku via chat.
Meski pada akhirnya ditolak (aku sempat berpikir pasti kamu tidak punya rasa
yang sama), tapi aku jadi lega. Sudah berbulan-bulan kejadian itu berlangsung. Anehnya
hatiku terasa seperti kosong, ada ruang kosong hampa di sana. Aku merasa tidak
enak, sesak, dan ingin segera menemukan seseorang yang tepat. Tapi, bahkan
sampai sekarang aku belum menemukan seseorang yang bisa membuatku berdebar
keras hanya karena kamu memandangku. Aku putus asa dan tidak tahu harus berbuat
apa. Entah sampai kapan penantianku ini akan terus berjalan. Sampai detik ini,
aku hanya berharap dapat menemukan seseorang yang tepat untukku. Dan aku
berharap, kamu juga menemukan kebahagiaanmu.
ELR
Mungkin kepalaku kelebihan muatan, karena tiba-tiba aku
ingin menulis sebuah surat lagi. Kali ini untuk papaku tercinta.
Dear Papa,
Ini adalah surat dari anakmu, yang jelas tidak akan
pernah tersampaikan lisan padamu karena tentunya Lini tidak berani
mengatakannya langsung. Setelah sekian lama, Lini sadar Papa adalah orang yang
penyayang dan baik dengan caranya sendiri. Lini akui, selama ini Lini selalu
jengkel pada Papa, bahkan suka mengumpat dalam hati kalau ada masalah dengan Papa.
Papa memang keras, garang, tegas, dan sebagainya, tapi di balik semua itu terdapat
hal yang sangat baik. Papa sangat menyayangi keluarga ini. Dengan semua hal
keras itu, justru Papa melindungi seluruh keluarga ini dari pihak luar. Lini merasa
tidak sanggup hidup kalau sampai Papa pergi, karena Lini bukanlah orang yang
tegas dan sangat lemah. Tanpa Papa, Lini tahu Lini akan mudah dibohongi oleh
orang lain. Lagipula di keluarga ini hanyalah Papa yang paling tegas dan dapat
melindungi keluarga. Kemudian Papa punya banyak mimpi yang belum terwujud, dan
suatu hari Lini berharap dapat mewujudkannya. Selama bertahun-tahun ini, Lini
merasa tidak pernah memandang Papa dengan objektif. Semuanya hanya Lini pandang
dari sudut pandangnya Lini sendiri, sehingga merasa seakan-akan Lini adalah
orang yang paling menderita di dunia. Maafkan Lini yang selama ini selalu
bersikap begitu. Mungkin sampai sekarang, Lini masih sebal sama Papa, tapi Lini
tahu Lini sayang sama Papa. Untuk semua perangai di atas, memang Lini tidak
bisa mengubahnya. Tetapi Lini ingin mencoba untuk menerimanya saja. Seperti yang
pernah dikatakan dosennya Lini, “Kalo nggak suka sama sifatnya seseorang,
anggap aja seperti buang sampah. Sifat jeleknya dibuang ke sampah, terus nggak
usah dipikirin, jadi nggak terbebani. Toh sifat seseorang nggak bisa diubah
begitu aja.”
Lini berharap kita sekeluarga selalu berkumpul
bersama, saling bersama dan tetap berempat. Lini juga ingin membuktikan, kalau
Lini bukan anak yang mengecewakan dan bisa membuat Papa bangga. Tetap bimbing
kami sekeluarga ya, Pa...
Lini
Komentar
Posting Komentar