Tantangan Menulis Kampus Fiksi, tema "Foto"



Sebuah Album Kenangan

“Kau baik sekali, Phil. Aku sangat menghargai pemberianmu. Sayangnya aku tidak membutuhkan anti-depressan yang kau berikan, aku sungguh baik-baik saja.” Seorang gadis berbicara dengan ponsel terjepit di antara telinga dan pundaknya sementara kedua tangannya sibuk mengoleskan selai kacang pada roti tawar.
Mereka terus saja bercakap-cakap sehingga si gadis memutuskan meletakkan ponselnya di atas cangkir dan menyalakan loud speaker-nya, dengan begitu ia bisa bebas bicara tanpa kerepotan.
“Kalau kau tidak percaya, kau bisa datang ke rumahku, Philip. Akan kutunjukkan aku sungguh baik di sini.”
“Baiklah, aku janji bulan depan akan berkunjung. Tetaplah hidup hingga saat itu,” ucap suara di seberang sana dengan terkekeh.
Kemudian sambungan terputus, Venesia memandang kosong benda kotak yang menghubungkannya dengan seorang pria dari benua lain. Philip. Sudah setahun mereka tidak bertemu, membuat Venesia rindu setengah mati pada Philip. Sudah banyak yang berubah di sini, sangat banyak sampai-sampai tidak akan bisa kembali seperti dulu. Ya, Venesia yang sekarang bukanlah Venesia yang dulu. Bahkan, Venesia merasa ia sudah tidak mengenal dirinya sendiri sekarang....
***
Setiap malam sebelum tidur, Venesia selalu menyempatkan untuk membuka sebuah buku album besar bersampul kain beludru hitam dengan cetakan huruf berwarna emas. Our Sweetest Memories, itulah tulisan di sampul album tersebut. Gadis berusia 25 tahun tersebut menyentuhkan jarinya yang lentik pada tulisan braille itu. Sebuah senyum lembut terukir di bibirnya, sementara ia mulai membuka lembaran foto di dalamnya.
Foto-foto di bab pertama album itu adalah foto pernikahan ayah-ibunya. Suasana di foto itu terasa sangat nyata, ketika ayah dan ibunya memakai busana perkawinan yang bernuansa putih. Ibunya masih sangat muda dan cantik, begitu juga ayahnya yang nampak tampan dan gagah. Di sela-sela foto perkawinan mereka, terselip juga foto saat mereka masih berpacaran. Muka mereka, terutama ayahnya masih terlihat bandel. Di lembaran itu, Ayah merangkul pinggang Ibu dengan posesif dan santai, sementara wajah Ibu terlihat merona dan malu. Venesia tergelak dan merasa terhibur, ia selalu saja suka dengan pemandangan kedua orangtuanya semasa remaja.
Bab kedua, momen saat Venesia lahir. Ia melihat gadis kecil yang masih montok dan tersenyum gembira. Bukannya bermaksud menyombongkan diri, tapi saat ini ia merasa melihat sesosok mungil bak malaikat dari surga. Ia rindu saat itu, saat dirinya masih sangat kecil dan selalu dijaga kedua orangtuanya. Kemudian banyak lagi foto dirinya; mulai dari Venesia kecil belajar berjalan, bermain ayunan, belajar di sekolah pada hari pertama, dan masa kanak-kanaknya.
Bab selanjutnya mulai terbuka, isinya adalah foto kedua adik kembarnya, Melly dan Molly. Umur mereka selisih delapan tahun dengan Venesia. Dari foto, sudah terlihat karakter mereka berdua. Molly si pemberani dan ceria, sedangkan Melly adalah perempuan yang kalem dan penyendiri. Mereka berdua saling melengkapi satu sama lain, dan Venesia sangat menyayangi kedua adik mungilnya. Selamanya mereka akan menjadi kedua adik mungilnya.
Satu lagi foto favorit Venesia, yaitu ketika mereka berlima berlibur. Di foto itu, mereka semua nampak bahagia. Ayah sedang menggendong Melly, sementara Molly memeluk pinggang Ayah dan mendelik pada Melly karena cemburu. Lain lagi dengan Venesia yang memeluk Ibu dan Ibu memeluk Ayah. Latar foto mereka ada di air terjun Coban Rondo, Malang. Sudah tujuh tahun berlalu semenjak foto itu diambil.
Mata Venesia berair, perpaduan karena mengantuk dan terharu oleh kenangan itu. Kemudian gadis itu tertidur, tanpa mengingat apa-apa dan semuanya serasa menghilang....


Ah, semalam ia bermimpi buruk lagi. Venesia mengingat mimpi itu sejelas kejadian itu saat menimpanya. Tragedi mengerikan tersebut terjadi delapan bulan lalu, kecelakaan mobil yang menewaskan seluruh keluarga mereka. Hanya Venesia yang selamat. Sejak saat itu, gadis berambut brunette itu selalu menyalahkan dirinya dan menyesali kenapa ia tidak tewas bersama keluarganya. Padahal kedua adiknya masih berusia 17 tahun, hidup mereka masih panjang. Dan ayah-ibunya masih sehat walafiat serta cita-cita keluarga mereka masih belum terwujud. Kenapa orang-orang baik selalu direnggut kehidupannya dibanding orang yang seharusnya tidak pantas hidup?? Padahal, Venesia tidak siap kehilangan mereka semua, karena keluarga baginya adalah moodbooster yang terbaik.
Airmata Venesia menetes, dengan lekas ia menghapusnya dengan punggung tangan. Berusaha mengalihkan pikirannya, Venesia bersusah-payah turun dari kasur dan duduk di kursi roda yang selalu setia menemaninya delapan bulan belakangan. Akibat kecelakaan itu, ia harus merelakan kemampuan kedua kakinya untuk berjalan. Karena tidak memperhatikan buku album foto di pangkuannya semalam, buku tersebut jatuh ke lantai dan terbuka di halaman terakhir.
Mata Venesia berkaca-kaca membaca tulisan di halaman terakhir, tanpa sadar ia terisak membaca tulisannya sendiri.
“Semua kenangan ini akan tetap hidup di otak dan hatiku, seakan semuanya baru saja terjadi kemarin.”
==========================================================

Cerita ini dibuat untuk Tantangan menulis dari Kampus Fiksi, dengan tema "Foto"... :D

Komentar

  1. foto selalu identik dgn kenangan. keren ceritanya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih sudah mampir blog dan baca ceritaku, Kak... :)
      iya, foto emang selalu identik dengan kenangan..
      kalo liat foto serasa kembali ke masa itu...
      :')

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel Remedy karya Biondy Alfian

My First Solo Traveling Express to Batu, Malang (Ketika si Terisolasi Keluar dari Cangkangnya)

KETIKA KAMU MERASA TIDAK RUPAWAN