NulisBarengAlumni - Kampus Fiksi
Music Lover
Teresa berjalan menuju sekolahnya
dengan headphone menempel di
telinganya. Dengan santai dan tanpa takut ancaman terlambat ia terus
melenggak-lenggokkan pinggangnya dengan latar lagu yang sangat ia sukai. Teresa
bukanlah penggemar dari penyanyi tertentu, ataupun aliran musik tertentu, ia
menyukai semua jenis musik selama itu enak didengar dan terasa klop di gendang
telinganya. Alasannya menyukai musik adalah karena dengan musik hidupnya terasa
lebih berwarna dan ibarat hidup di panggung drama musikal.
Begitu tiba di kelas, untungnya ia
tidak terlambat dan beberapa temannya pun belum tampak batang hidupnya.
Sahabatnya menghampiri Teresa yang sedang meletakkan ranselnya di kursi, gadis
berbando putih itu menjawil bahu Teresa.
“Oi, tumben datang agak siang?
Omong-omong headphone baru, ya?”
tanya Eline dengan senyum secerah mentari pagi yang bersahabat sembari
mengamati headphone berwarna biru
muda tersampir di leher Teresa yang juga terdapat sebuah kalung berliontinkan
salib.
Yang ditanya menengok dan membalas
senyum sahabatnya itu, “Biasanya aku ya datang jam segini, kan? Iya, baru beli
kemarin lusa. Hehehe.”
Eline duduk di bangku samping Teresa,
tempat dimana ia memang duduk. “Kapan-kapan pinjem, dong? Headset-ku rusak beberapa hari lalu.”
Gadis berambut hitam sebahu tersebut
mendengus, “Headset-ku yang
sebelumnya belum kamu kembaliin loh, pakai itu aja.”
Sementara Eline hanya menggaruk
kepalanya yang tidak gatal dan meringis, “Oh iya, ya.”
Semua orang tahu kalau Teresa adalah
cewek pencinta musik yang cukup akut dan update.
Tanyakan saja judul lagu yang ingin dicari dengan menggumamkan nadanya, cewek
berusia 17 tahun itu pasti tahu. Dengan catatan lagu tersebut sesuai selera
musiknya. Di handphone-nya pun sudah
ada ribuan lagu, baik lagu Indonesia ataupun mancanegara. Namun kebanyakan ia
mengoleksi lagu luar, karena menurutnya lagu-lagu Indonesia tidak banyak yang
ia sukai. Bukan berarti ia tidak cinta produk dalam negeri, hanya saja ia
memiliki selera tersendiri dalam musik.
Semua orang akan geleng-geleng kepala
apabila mendengar tabiat Teresa sehari-hari yang menyangkut musik. Di kamarnya,
ia selalu menyalakan radio yang menyiarkan acara musik dari zaman mana saja.
Ketika berada di kamarnya yang berantakan seperti kapal pecah, pasti semua
orang ibarat berada di ruangan yang full
music. Bahkan, demi memiliki banyak lagu yang ia suka, Teresa rela berkutat
di depan laptop berjam-jam demi mencari lagu-lagu yang sesuai baginya. Tak
terkecuali saat ini...
***
“Tere, aku mau tanya soal penyebaran
agama Hindu di Indonesia dong yang bahan UAS...”
Eline datang dengan dua buah buku
tebal dan tipis; satu adalah paket, dan satu lagi LKS. Hari ini adalah UTS
sejarah. Tidak heran semua murid memegang buku paket maupun LKS, nyawa mereka
bergantung pada kitab tersebut saat ini.
Sementara itu Teresa menyeringai dan
mempertontonkan buku LKS-nya dengan bangga sekaligus merasa bersalah. Dami Im – Gladiator; Travis – Closer; Blake
Shelton – Lonely Tonight; ... Semua itu adalah daftar penyanyi beserta
judul lagu mereka. Eline ternganga dan menepuk dahinya pelan.
“Astaga, Tere!! Hari ini UTS dan kamu
masih sempat nyari begituan?? Parah kamu! Terus, kamu udah belajar, belum?”
tegur Eline tidak habis pikir.
“Kemarin aku cuma baca-baca, jadi
rasanya hari ini aku nggak bisa diandalin.” Dan Teresa mengangkat bahu tanpa
merasa terbebani.
Padahal Eline belajar seharian suntuk
dan masih ada yang belum ia pahami, ditambah gurunya freak dan selalu tidak jelas materinya. Sebaliknya, Teresa malah
asyik men-download puluhan lagu dan
hanya membaca sekilas bahan UTS. Ya
sudahlah, pasrahkan saja pada Tuhan...
Mungkin hidupnya telah digariskan demikian oleh takdir....
***
Teresa’s POV
Aku suka musik. Tidak, bukan cuma
suka. Aku cinta musik! Mendengar musik tiap hari membantuku merasa bersemangat,
aku nggak bakal merasa sumpek dengan adanya headset
yang menyumbat telinga. Selama ada lagu yang bagus terputar di sana, ya. Aku
sedang menikmati hidup saat Papa membuka pintu kamarku, membuat jantungku
nyaris jatuh ke perut.
“Teresa!” omel Papa dengan nada
tinggi serta muka penuh kerutan kesal.
“Kenapa, Pa?” tanyaku dengan bingung,
segera saja kulepas headset yang dari
tadi bertengger di telingaku dan menoleh pada papaku itu.
“Dari tadi dipanggil sampai Papa
teriak-teriak, tapi Tere nggak denger! Berhenti dengerin lagu kayak orang gila
gitu!!” seru Papa dengan nada yang sanggup membuatku mengkeret ketakutan.
“Bantu Papa ngupas mangga, sini!!!” tambahnya tak kalah garang.
Aku hanya mengikuti dengan lemas.
Sedikit sedih lantaran dibilang mendengarkan lagu kayak orang gila. Toh, Papa
nggak tahu betapa menyenangkannya mendengarkan lagu itu. Setelah seharian aku
stres sama semua urusan, akhirnya aku bisa mencari penenangan dan pelampiasan.
Musik adalah moodbooster-ku.
Suatu hari, handphone mamaku jadi lambat kinerjanya. Padahal memorinya terlalu
kecil dan karena aplikasi berukuran besar dipaksa diinstal di sana. Tapi
ujungnya malah aku yang disalahkan, Papa malah menuduh semua ini gara-gara aku.
“Ini gara-gara Tere! Lagunya Tere
ngedesak semua memori HP ini!!” semprot Papa, lagi-lagi menyalahkan lagu
koleksiku.
“Nggak ada pengaruhnya, Pa. Ini
memang HP-nya aja yang nggak kuat kena aplikasi BBM,” balasku membela diri. Aku
merasa muak disalah-salahkan melulu.
“Hapus semua lagunya.” Satu kalimat
itu langsung membekukanku.
Aku langsung terbayang-bayang banyak
hal. Pertama, aku mengumpulkan semua lagu tersebut sejak lama, semenjak kali
pertama beli handphone yang ada
MP3-nya. Saat itu aku kelas 3 SMP, aku begitu bahagia bisa beli handphone yang jauh lebih canggih
daripada yang sebelumnya. Ponselku yang pertama hanyalah ponsel yang dapat
dipakai untuk telepon, SMS, dan main game
Black Jack.
Begitu punya ‘teman’ yang baru, aku
langsung gila mengunduh banyak lagu yang masuk waiting list-ku sejak zaman dahulu kala. Sejak nenek moyangku masih
bercocok tanam dan berburu. (Maaf alay, hehe.)
Sayangnya lain waktu, semua
perangkatku yang ada lagunya disita Papa. Bahkan ponsel juga disita kecuali aku
memutuskan menghapus semua lagunya. Sungguh menyebalkan hidup tanpa musik,
dunia serasa hambar. Sepi.
Padahal aku sudah menjuluki diriku
sendiri, Music Hunter. Apa jadinya
aku tanpa alunan simponi yang indah itu? Semua susunan nada tersebut sangat
kucintai. Bahkan mungkin aku jauh lebih mencintai musik dibanding diriku
sendiri. Seseorang pernah bilang, “One
good thing about music; when it hits you, you feel no pain.” Aku sangat
setuju dan menjadikannya pedoman dalam hidup. Maka itu setiap waktu aku selalu
mendengar musik.
Kupandangi langit-langit kamar yang
telah terselimuti aura gelap karena lampu kamar telah padam. Aku nggak bisa
tidur malam ini. Otakku terus memikirkan nasib semua lagu yang telah kusimpan
selama bertahun-tahun. Malam ini makin terasa mencekam dengan ketiadaannya
musik, aku nggak suka suasana seperti ini. Malam terasa makin pekat, makin
menelan dalam kesunyian. Bahkan aku dapat mendengar semilir angin dari AC, jauh
lebih keras dari apapun.
Namun, perlahan aku kembali mendengar
suara yang indah. Lantunan yang sangat menenangkan, membuatku menguap dan mataku
berair. Entah karena aku berhalusinasi atau lainnya, tetapi aku dapat
mendengarnya dengan jelas seakan lagu tersebut menerobos masuk ke liang
telinga. Aku rasa semua lagu itu telah tertanam di alam bawah sadarku.
Semua harmoni dan simponi indah itu...
________________________________________________________________
________________________________________________________________
*Flashfiction ini dibuat untuk tantangan menulis Kampus Fiksi dengan tema #Bunyi
Komentar
Posting Komentar