KENAPA KITA HARUS TETAP HIDUP?
Pernahkah kamu bertanya
seperti ini? Pernahkah kamu protes pada Tuhan tentang kenapa kamu harus
bertahan di saat yang susah ini? Apa kamu juga menangisi nasibmu yang harus
mempertahankan nyawa di kala alasan untuk bertahan sudah tidak ada? Atau bahkan
sebenarnya hidupmu tampak baik-baik saja, tapi segala sesuatu di dalam tubuhmu
itu sudah ‘damage’ sangat parah?
Bahkan dirimu sendiri saja sudah menyerah untuk memperbaiki ‘kerusakan’ yang
terjadi itu?
Kurasa, beberapa dari kita pernah
mengalami hal itu. Aku tahu, mungkin tulisan yang kubuat ini belum tentu dibaca
banyak orang. Bahkan blog ini saja keberadaannya tidak begitu terendus siapa
pun. Tetapi, kalau sampai ada yang membaca ini, kurasa aku sangat berterima
kasih karena kamu bersedia membaca pendapatku secara keseluruhan. Hal itu lebih
dari cukup untuk membuatku merasa senang.
Kembali ke poin tadi. Sejauh
yang kutahu, semua agama mengajarkan kita untuk menjauhi tindakan membunuh
nyawa sendiri. Tetapi untuk tulisan ini, saya tidak akan membahas soal
pandangan agama. Karena jika membahas dari agama, maka hal itu menjadi kurang
objektif. Jadi aku akan mencoba membahasnya dari perspektif yang lain.
Kita
harus bertahan hidup sebisa mungkin. Itu pandanganku secara
pribadi. Itu himbauanku pada semua orang, pada siapa pun, seberat apa pun
masalahmu. Aku tahu, mungkin masalahmu sangat berat, bahkan aku juga tidak dapat
membantumu. Saking beratnya, kamu kehilangan harapan dan tidak ingin hidup lagi.
Lagipula, orang-orang di sekitar tidak ada yang peduli, bahkan mereka yang sangat
kamu pedulikan juga acuh tidak acuh.
Ketika kamu berusaha bercerita
tentang masalahmu, ada yang mencibir. Kritikan seperti “Kamu kurang berdoa”;
“Masalahmu hanyalah masalah kecil, masih ada yang lebih kesusahan daripada
kamu”; dan lain sebagainya mungkin sudah pernah kamu dengar. Akhirnya kamu
memilih untuk membisu, menangis dalam diam, atau bahkan yang paling buruk
adalah kamu melukai diri sendiri dengan silet. Dengan begitu, kamu berharap
semua rasa sakit itu dapat pergi dan tergantikan dengan luka fisik yang sanggup
kamu tanggung. Pada nyatanya, semua itu hanya sementara, lain waktu kamu akan
mengulanginya lagi dan lagi.
Kamu capek. Kamu letih.
Tenagamu sudah habis dan kamu tidak sanggup hidup dengan keadaan seperti itu
terus. Lalu kamu berdoa setiap malam, agar nyawamu dicabut saja, karena kamu
tidak ingin melakukan itu dengan tanganmu sendiri. Tapi nyatanya, Tuhan tidak
mendengar doamu. Kamu dibiarkan tetap hidup, bahkan kita juga tidak tahu apa
alasan Tuhan membiarkan kita tetap bernapas dan tinggal di dunia.
Akhirnya kamu menjalani
hari-hari dengan setengah hati. Napsu makan, keinginan untuk mengerjakan hobi,
dan bahkan keinginan untuk hidup rasanya sudah tidak ada. Kamu benar-benar
merasa useless di dunia ini.
Untungnya, niatmu untuk mengakhiri hidup selalu gagal. Pertama, selalu ada
orang-orang di sekitarmu, jadi kamu tidak pernah sendirian di rumah. Kedua,
kamu takut risiko yang ada di depan jika nekat menghabisi nyawa sendiri. Bisa
saja setelah mati, bukannya kedamaian yang kamu peroleh, tetapi hal yang lebih
buruk dari itu. Aku tidak pernah melakukan itu, jadi aku tidak tahu apa yang
akan terjadi di depan. Jika aku sudah pernah melakukannya dan berhasil, tentu
aku tidak akan pernah menulis ini, bukan?
Tetapi yang ingin aku
sampaikan di sini adalah, tetaplah punya
harapan untuk dirimu itu. Seburuk-buruknya dirimu, sejahat-jahatnya kamu,
atau bahkan sepayah-payahnya kamu, kamu tetap pantas hidup dan punya harapan.
Jauh di depan sana, mungkin saja kamu akan mendapat sesuatu yang sangat
berharga. Di masa depan nanti, mungkin saja kamu akan memperoleh kesuksesan.
Yang pasti, selalu ada kemungkinan lebih baik di depan nanti. Jika kamu menghabisi
nyawamu, maka kesempatan untuk mendapatkan suatu hal yang baik akan menghilang
selamanya. Kita tidak akan dapat memutar kembali waktu, apa yang sudah
menghilang tidak dapat dikembalikan.
Anggap saja kita mengalami
masa “semi” depresi ini karena tumpukan dari segala hal yang kita alami. Secara
kasat mata, kita baik-baik saja. Kita memiliki pekerjaan, kita dapat belajar,
kita memiliki keluarga yang lengkap, hidup kita berkecukupan, kita memiliki
teman dan bahkan juga pernah bercerita pada mereka. Hidup kita tampak baik di
permukaan. Tapi, jauh di dalam lubuk hati, sebenarnya ada sesuatu yang kurang.
Ada sebuah luka dan kegelapan. Padahal kita sendiri tidak ingin menciptakan
rasa sakit itu, tapi entah kenapa hal itu muncul. Bisa dibilang, sebenarnya
kita diserang baik dari luar atau pun dalam. Tapi saking sakitnya serangan
internal dari diri kita sendiri, akhirnya serangan dari eksternal pun tidak
kita rasakan. Jadi kita memiliki sisi dark
yang bahkan seharusnya tidak ada di sana.
Kita muak akan sisi itu, kita
ingin sisi itu pergi. Tapi entah kenapa, sesusah apa pun kita mengusirnya,
bahkan dengan membaca buku self
development, pergi ke psikolog atau psikiater, mengonsumsi obat anti
depressan, dan lainnya sebagainya, tetap saja tidak hilang. Jalan terakhir yang
terlintas di otak adalah, “mungkin penderitaan ini akan berakhir kalau aku mati”.
Ada benarnya. Semua penderitaan kita di dunia akan berakhir jika kita mati.
Tapi ingat, jika kematian itu bukan atas
perbuatan kita sendiri, baru itu yang dapat membuat kita beristirahat dengan
tenang.
Mungkin kamu berpikir, jika
nyawamu menghilang semua hal akan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Matahari
akan tetap bersinar cerah. Bunga-bunga di taman mekar dengan indahnya. Hujan
akan tetap turun dengan deras. Bumi masih berputar dan bulan masih
mengelilinginya. Bahkan gedung-gedung di kota masih tetap berdiri dengan megah
dan angkuhnya.
Tetapi, dunia beberapa orang
akan hancur. Orang-orang yang peduli padamu akan menangis dan kehilangan
harapan hidup sama sepertimu beberapa waktu lalu. Kalau mereka dapat bangkit
dan tetap menjalani hidup hal itu tidak menjadi masalah. Tetapi, bagaimana
kalau ternyata mereka memutuskan untuk menyusulmu? Kita, manusia yang tidak
punya kemampuan spiritual, tidak mengetahui kehidupan setelah kematian. Jadi,
kita tidak akan tahu apa orang yang memutuskan menyusul kematian orang lain
akan bertemu lagi atau tidak. (sangat bagus kalau ternyata mereka bertemu
lagi).
Sebelum semua bayangan ini
terjadi, pikirkanlah dengan sungguh-sungguh. Menghabisi nyawa sendiri menunjukkan bahwa kamu sangat tidak
menghargai dirimu sendiri. Kamu tidak memberi kesempatan diri sendiri untuk
menikmati kehidupan. Kamu tidak percaya dirimu sanggup mengatasi semua ini.
Bukankah ketika kamu membunuh nyawa yang ada di tubuhmu, itu menunjukkan betapa
kamu membencinya? Sampai-sampai kamu tidak ingin dia hidup? Dan kamu tidak
ingin melihat wajahnya.
Padahal selama ini kalian
hidup bersama, kalian kesakitan dan berbahagia bersama. Kalian bertumbuh,
menerima pelajaran hidup, dan berkembang bersama. Semua itu adalah momen yang
sangat berharga. Sebagai orang dewasa, kadang aku heran dengan diri kita
sendiri. Kenapa ketika kita masih kecil, saat belajar berjalan, kita tidak
pernah menyerah meski selalu terjatuh? Sementara, kita yang sudah dewasa ini,
seringkali menyerah pada persoalan hidup. Itu masih menjadi misteri di
kepalaku.
Aku bukanlah seorang psikolog
yang sudah punya izin untuk membuka tempat praktek sendiri. Aku belum kompeten
untuk memberi konseling dan saran pada orang yang meminta. Jadi semua tulisan
ini hanyalah isi benakku dan semua pelajaran yang kukumpulkan dalam waktu
beberapa tahun terakhir. Ketika aku terus mencari dan mencari, aku tidak selalu
mendapatkan jawaban. Hingga detik ini aku hidup, masih banyak pertanyaan yang
belum terjawab. Emosiku juga masih meluap-luap. Keluhan serta kesedihan masih
terendap di sana sini. Sebagai seorang ilmuwan psikologi, seharusnya aku
menyelesaikan semua urusan itu. Tetapi nyatanya, hingga aku lulus kuliah pun,
tugasku masih banyak. Maka dari itu aku merasa belum kompeten untuk membantu
siapa pun.
Akhirnya, kesimpulanku masih
‘tersangkut’ di beberapa kalimat. Kita,
manusia bagaikan pohon yang besar. Ketika
musim semi, kita akan menumbuhkan daun dan bunga yang sangat banyak sehingga
menjadi indah. Di saat musim gugur, kita akan meranggas sehingga semua daun
gugur dan pohon menjadi botak. Tapi hal itu tidak akan terjadi selamanya
karena saat musim semi kita kembali tumbuh. Kemudian, kapan kita akan berhenti
‘tumbuh’ dan ‘gugur’? Ya saat kita benar-benar mati karena takdir.
Aku benar-benar berharap semua
orang di dunia ini, mempertahankan hidupnya. Karena kematian adalah duka bagi
semua orang. Tetapi, untuk siapa pun yang akhirnya menyerah, aku juga tidak
dapat menyalahkan dia. Aku tidak tahu masalahnya apa, aku juga tidak tahu apa
niat di balik mengakhiri hidupnya, jadi aku sungguh tidak berhak menghakiminya.
Tapi, aku sangat berharap agar
kita semua sanggup bertahan. Ayo kita sama-sama berjuang untuk bertahan. Hidup
memang tidak mudah, tapi yang penting kita bertahan. Seandainya, dunia setelah
kematian memang ada, kita dapat bertanggungjawab pada Tuhan kita. Kita dapat
memberi laporan atau bercerita kontribusi serta segala hal yang kita hadapi di
dunia. Alangkah baiknya juga kalau kita dapat bercerita pada Tuhan tentang
segala yang kita usahakan dan tanggungjawab kita.
Kalau kita putus di tengah
jalan, apa yang akan kita katakan? Mustahil kalau kita bilang menyerah dan
membunuh nyawa sendiri dengan kejam, kan?
Percayalah, kamu tidak sia-sia
berada di dunia ini. Kamu harus tetap hidup untuk menyaksikan segala hal
berbuah baik di depan matamu. Kuharap ini bukan sekadar omongan kosong bagimu,
tapi kamu juga percaya dan menantikan waktu itu tiba. Kamu memiliki waktu untuk
beristirahat nanti. Kalau kamu lelah karena
selalu berlari setiap waktu, maka beristirahatlah sejenak. kemudian lanjutkan
lagi perjalananmu hingga akhir, yang penting jangan menyerah.
Keep
hopeful and love yourself…
28/4/2020
ELR
Komentar
Posting Komentar