Welcome to The Club a.k.a Dating App, (desperate) People!
Aku adalah orang
yang skeptis pada dating app.
Menurutku, orang-orang yang memiliki aplikasi pencari jodoh ini adalah orang
yang desperate demi menemukan
jodohnya. Orang-orang yang punya aplikasi ini payah dan istilah buruknya adalah
tidak laku. Yah, aku tidak ingin bernasib seperti mereka.
Tapi setidaknya
hingga aku sendiri mengunduh salah satu dating
app yang disarankan temanku.
Okay, sekarang aku jadi
salah satu anggota pencari jodoh yang desperate
ini. Sistem memilih orang yang disukai adalah dengan swipe kiri dan swipe
kanan. Jika aku merasa lawan jenis yang muncul cocok dengan tipeku, maka jariku
akan menggeser layar handphone ke kanan. Sebaliknya, jika orang tersebut tidak
sesuai dengan kriteriaku, maka aku akan membuangnya ke sebelah kiri. Sesimpel
itu. Kalau dipikir-pikir, hal itu lucu juga ya. Kita hanya perlu menentukan
seleksi berdasarkan screening yang
tidak akurat seperti itu.
Pola seperti ini
akan sangat merugikan bagi orang yang memiliki wajah standar atau di bawahnya.
Kasihan sekali mereka jika harus ditolak hanya karena kurang menarik. Padahal,
kemungkinan kan dapat terjadi di mana pun dan pada siapa saja.
Pada nyatanya,
detik ini, aku hanya mengusap layar smartphone-ku
ke sebelah kiri. Dan aku justru menikmati kegiatan gosok menggosok layar ke
sebelah kiri tersebut.
Aku terus
melakukannya hingga sebuah wajah muncul di hadapanku.
Cowok itu. Aku
mengenal wajah ini dan selalu memperhatikan dia. Ternyata dia juga “bermain”
aplikasi ini. Itu berarti dia hampir sama putus asanya sepertiku. Tentu
kenyataan ini memberi sebuah rasa geli dan tertarik.
Bermodal rasa
iseng, aku menggeser layar ke kanan. Toh dia juga belum tentu menggeserku ke
kanan.
Tetapi takdir
berkata lain, beberapa jam kemudian aku mendapat notifikasi. Ternyata dia juga
memberi tanda suka padaku!
Kami mulai chat.
Dia mengucapkan hai, dan aku juga membalas hai dengan emoticon tertawa. Lalu dia mengatakan sesuatu yang membuatku syok.
“Sepertinya aku
nggak asing dengan mukamu. Kamu satu gereja denganku, kan?”
Aku terkejut
sekaligus senang. Senang karena dia ternyata menyadari keberadaanku.
“Aku sering liat
kamu di gereja. Pantes aku ngerasa familiar sama mukamu.”
Okay, aku mulai
kepedean. Aku merasa berarti dia juga memperhatikanku.
Sadarlah, sayang. Kamu nggak boleh ge’er
dulu. ucapku dalam hati.
Tapi, hanya dari
sapaan macam itu, sepanjang hari aku selalu tersenyum dan membayangkan
wajahnya.
Aku rasa aku sudah
tidak waras…
ELR
30 April 2019, pk
00.49
Komentar
Posting Komentar